Aset
Di Laporan Keuangan Duta Pertiwi ada aset yang tidak kunjung laku, ciri-cirinya adalah, dibagian persediaan, yaitu tanah dan bangunan yang siap dijual, kategori komplek itu keluar terus menerus dalam 5 tahun tetap ada. Maka dapat disimpulkan, aset tersebut tidak mudah dijual.
Topik hari ini adalah mengenai aset. Aset pada dasarnya dapat dijual belikan, kalau pembeli dapat menghargainya. Sayangnya, ada banyak aset yang mati karena tidak dihargai, tidak ada demand. Properti adalah seperti fashion, dalam waktu ke waktu demand mengikuti perkembangan interior designer. Manusia pada dasarnya senang yang indah, dari luar hingga dalam. Aset dapat mati karena ketinggalan zaman, atau kalah personality dalam memberikan nuansa yang bermakna.
Penulis blog tinggal di Apertemen Mangga Dua Court, kadang pulang ke Pantai Indah Kapuk juga. Dikala penulis tinggal di Mangga Dua, kadang menyempatkan waktu untuk ke Mangga Dua Mall. Makan hokben dan minum Root beer di AW serta ke BCA adalah keseharian penulis. Ketika berjalan-jalan di Mall Mangga Dua, penulis melihat dulu Mall Mangga Dua ada Jogya, ada 21 waktu penulis masih kecil dulu bahkan ada arcade. Sekarang sudah tidak ada. Adanya indomaret, dan toko elektronik yang survive. Meski margin kecil, kedua bisnis ini hidup karena sewa disini murah. Namun resiko toko elektronik ini adalah persediaan yang ketinggalan zaman, dan pilihan brand yang kurang. Networking effect sangat kuat influencenya, jadi hanya beberapa toko saja yang survive. Yang ingin ikut serta kedalam pertandingan ini, antara masuk dengan produk lebih murah, atau masuk dengan produk baru (buat demand baru, non consumption zone), karena kerasnya berjualan di Mall sepi.Ke ITC Mangga Dua untuk ke PS Enterprise, bertemu dengan pemiliknya, dan berbagi pengalaman investasi saham. Lalu ke Pasar Pagi Mangga Dua untuk membeli alat tulis. Ini semua penulis bisa lakukan karena masih ada gedungnya, masih jalan operasionalnya, tidak mati total.Penulis punya orang tua yang dahulu buka toko baju di Pasar Pagi, begitu juga saudara-saudara penulis banyak buka toko baju termasuk Dunia Oblong. Ketika bertemu dengan saudara penulis di ruang gym Apertemen dan bertanya mengenai bisnis, ia berkata bahwa penjualan bagus, meski seasonal. Hidupnya baik-baik saja, tidak seperti yang penulis pikirkan.
Ada lagi penulis melihat ruko sebelah tol PIK 1 dekat crown golf yang dahulu ramai. Kini sepi karena PIK 2 yang buka.
Disini penulis belajar, lifecycle aset itu lama, tetapi tidak dengan demandnya. Demand produk/jasa masih ada, tetapi aset yang tidak laku, menjadi tidak laku karena supply aset yang memberikan nuansa indah banyak, maka kalah saing jadinya. Begitu juga dengan demand produk/jasa yang shifting, menuju convenience, membeli produk/jasa online.
Pembeli ruko, kios, serta rumah, dan apertemen memiliki resiko yang bisa dibilang tinggi.
Gambar ini benar-benar membuat gambaran mengenai resiko. Resiko adalah beban yang tidak kelihatan, karena bisa jadi sifatnya beban itu tidak terlihat, hanya kelihatan setelah terjadi. Seperti kalah saing, gagal bayar, ekonomi tidak berputar, likuiditas yang seret.
Pertama, setelah membeli aset tersebut, ia harus mengasuransikan, karena balik modalnya aset itu lama, dan mau jual cepat juga tidak mudah karena tidak liquid, kecuali jual rugi.
Kedua, ketika pengunjung banyak, dan aset tersebut booming, banyak yang tidak ingin jual, padahal disaat itu paling liquid.
Ketiga, masalah pemegang aset ruko, kios, rumah, apertemen yang memiliki gedung itu tidak ikut membudgetkan depreasiasi nilai gedung tersebut, begitu juga dengan inflasi (kenaikan harga gedung) tersebut kedepan. Hanya tanah yang tidak ada depresiasi, namun inipun butuh likuiditas untuk menghidupkan tanah tersebut.
Keempat, pembayaran operasional memiliki aset tersebut dan pajak juga harus dipikirkan.
Terakhir, adalah tingkat balik modal memiliki aset tersebut, atau bisa dibilang return on invested capital, tidaklah tinggi. Jadi pemilik aset tersebut cash flownya terbatas. Inilah kenapa, rule number one, selalu mengasuransikan aset yang tidak cepat balik modal.
Percayalah, akan selalu ada orang yang rugi investasi. Karena memang investasi itu tidaklah mudah. Dan bagi mereka yang pikir investasi itu mudah, berarti belum ditundukkan waktu. Tinggal tunggu waktu saja sebenarnya, karena manusia tidak bisa mengantisipasi semuanya. Resiko adalah apa yang terjadi diluar dari semua yang telah dipikirkan.
----------
Terakhir, penulis ingin menulis mengenai Aset yang cepat balik modal.
Bayangkan jika anda memiliki bisnis makanan, balik modal 2-3 tahun karena sewa murah, yaitu berada di luar kota-kota besar. Bisnis makanan ini ada di kota mandiri, yang memiliki critical mass bagus untuk bisnis tersebut. Dengan strategi ini, apa yang terjadi dengan keuangan bisnis anda? Misal anda punya 4 cabang, tiap cabang punya aset (aset tetap dan persediaan) senilai 4 milyar. Yang terjadi adalah 2-3 tahun lagi, bisnis anda menghasilkan keuntungan total 4 milyar, cukup untuk ekspansi lagi. Tiap 2-3 tahun double jumlahnya, maka perusahaan anda menjadi compounder, yang cepat menangkap demand.
Jika bisnis anda kalah saing dalam waktu 2 tahun, setidaknya anda bisa jual aset, dan karena sudah balik modal, anda tinggal rebranding, buat bisnis itu menjadi indah. Dari dulu, networking effect sangatlah kuat efeknya terhadap brand baru. Influence orang-orang ramai, adalah kunci keberhasilan brand. Kalau memang niat buat bisnis ramai, kuncinya networking effect.
Mall mangga dua, ITC Mangga Dua, dan Pasar pagi bisa belajar dari Funan, yang merubah konsep mallnya menjadi kekinian dengan pilihan makanan yang banyak. Ini dapat terjadi karena likuiditas dari REIT. REIT managements membuat mall-mall Singapore membuka toko dengan brand-brand yang ngehits saja, akhirnya ke mall manapun itu-itu saja brandnya. Beda dengan ITC Mangga Dua yang ada PS Enterprise, sampai sekarang brand bisnis ini selalu ada di kepala saya, karena networking effect.
Saran penulis, adalah investasilah aset yang cepat balik modal. Selain kaya likuiditas, cepat bertumbuhnya.
Belilah aset yang tidak cepat balik modal karena anda akan menggunakannya. Kalau anda menggunakan, bukan untuk investasi, berarti nilai depresiasi itu adalah nilai konsumsi, apalagi jika memang anda yang berbisnis, maka tinggal budget saja depresiasi + inflasi.
Terima kasih sudah membaca post ketiga saya mengenai Duta Pertiwi.